Perkembangan Industri Media di Indonesia – Industrialisasi media yang ada di Indonesia tidak bisa dipandang sebagai sebuah fenomena pasca-reformasi. Akar industrialisasi ini bahkan sudah tertanam sejak Orde Baru. Daniel Dhakidae, sebagaimana dikutip dalam Hill dan Sen (2000: 51), berpendapat bahwa pergeseran dari pers yang berlandaskan wacana politik ke industri komersial berawal saat pemerintahan Soeharto. Sejak pertengahan ‘80-an, tanda-tanda awal korporasi media telah muncul. Pertumbuhan ekonomi antara tahun 1970 sampai tahun 1980, yang didorong oleh menguatnya bisnis minyak, merangsang tumbuhnya sektor ekonomi baru, termasuk media. Akan tetapi, pada saat itu tidak ada yang murni bisnis. Kebijakan yang memberi batasan merupakan salah satu faktor yang menghalangi komersialisasi media. UU Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers membatasi praktik komersialisasi dengan melarang adanya investor asing secara langsung dalam pendirian perusahaan media. Namun, dorongan untuk mengkapitalisasi media jelas terbaca, hingga akhirnya kesempatan untuk itu terbuka dengan adanya deregulasi di sektor media.
Pertumbuhan ekonomi dan media selama tahun 1980-an terutama didorong oleh ekspansi dan pengaruh konglomerasi (Hill, 1994: 257). Pada saat itu tidak banyak sumber pendanaan yang mampu menyediakan modal cair kecuali satu pihak. Di sinilah muncul dilema. Praktik bisnis ini harus memiliki landasan hukum, sehingga harus mengubah regulasi yang dipandang sebagai kepentingan besar saat itu. Akan tetapi, penyusunan regulasi baru akan bertentangan dengan prinsip dan kepentingan dasar rejim yang anti terhadap kritik publik dan kebebasan berpendapat, yang sebenarnya merupakan fungsi utama media. poker asia

Dalam periode ini, sejumlah perubahan besar terjadi dalam sektor ekonomi karena dorongan perekonomian global dan masuknya modal finansial asing. Tuntutan untuk membuka pasar domestik hampir tak dapat dihentikan, dan media merupakan salah satu industri yang menguntungkan dan membutuhkan modal lebih banyak agar dapat berkembang. Hal ini menjadikan UU Pers era Orde Lama dilihat sebagai halangan ekspansi finansial.
Faktor berpengaruh lainnya dalam perkembangan industri media di Indonesia adalah pengesahan UU Penanaman Modal Asing No. 20/1994. UU tersebut membuka perekonomian domestik untuk dapat dimasuki modal asing dan mengembangkan industri media.
Reformasi dan Kelahiran Kembali Media di Indonesia
Sama halnya dengan sektor-sektor lain dalam ekonomi, industri media memasuki era reformasi dengan harapan tinggi. UU Pers yang baru hanya membutuhkan waktu satu tahun (1999) untuk disahkan, dan akhirnya memberikan serangkaian hak istimewa bagi industri media cetak. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, UU Penyiaran muncul dengan gagasan revolusioner untuk menerapkan sistem siaran berjaringan yang justru membatasi daya jangkau industri tersebut jika diimplementasikan secara konsisten dan akhirnya membatasi pula keuntungan yang diperoleh.
Sebenarnya, UU Penyiaran No. 32/2002 telah mencoba mengantisipasi permasalahan dan tantangan yang muncul berkaitan dengan kepemilikan media pasca-reformasi. Pasal 18 UU tersebut melarang adanya kepemilikan silang. Namun, regulasi ini tidak cukup untuk mencegah perusahaan atau kelompok usaha melakukan akuisisi atau merger.
UU No. 5/1999 mengenai monopoli dan persaingan sebenarnya mengatur praktik ekonomi yang kontraproduktif terhadap kompetisi yang adil dan sehat. Dengan semangat reformasi, UU tersebut bertujuan mencegah konsentrasi sumber daya ekonomi di tangan satu/sedikit pihak. Akan tetapi, UU ini tidak memiliki hubungan langsung dengan praktik bisnis di lingkup media. UU No. 5/1999 pun tidak dapat diterapkan untuk mengatasi praktik buruk merger dan akuisisi dalam industri media.
Kebijakan Tanpa Daya dan Praktik
UU Pers dan UU Penyiaran merupakan kebijakan-kebijakan penting di bidang media sejak reformasi bergulir; akan tetapi apakah kedua kebijakan tersebut mampu mengontrol dinamika dan ekspansi industri media masih terus dipertanyakan dan belum ada jawaban pasti.
Tiadanya Kebijakan yang Mengatur Kepemilikan dan Kapitalisasi Perusahaan Media
Banyak perusahaan media bidang televisi mengabaikan UU Penyiaran. Undang-Undang tersebut sebenarnya memaksa stasiun TV nasional untuk membatasi jangkauan siarnya demi mendorong kemajuan penyiaran dan kalangan media lokal, serta mendesentralisasi sistem penyiaran. Kebijakan yang ada juga telah gagal mendefinisikan regulasi yang sederhana dan menyeluruh yang mampu menghalangi perusahaan media dari praktik kepemilikan yang cenderung mendominasi medium atau wilayah tertentu.
Inkonsistensi dan Kebijakan yang Saling Membatalkan
Contoh paling jelas dari hal ini adalah PP No. 50/2005 yang menyebabkan perselisihan panjang antara Kemenkominfo dan KPI. Peraturan tersebut mencabut keistimewaan dan tanggung jawab penting yang diemban KPI.
Pengesahan PP tersebut tidak mampu memberi pedoman yang lebih baik bagi skema penyiaran, dan malah menimbulkan beberapa permasalahan baru. Ditambah lagi munculnya Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) No. 17/2006 mengenai Tata Cara Penyesuaian Izin Penyelenggaraan Penyiaran bagi Lembaga Penyiaran Swasta yang memungkinkan adanya pengecualian bagi perusahaan media yang sudah ada untuk menerapkan sistem siaran berjaringan.
Rendahnya Koordinasi di Antara Institusi Regulator
Dalam konteks Indonesia secara spesifik, alasan tentang rendahnya kerjasama antar institusi publik adalah karena ego sektoral. Dalam ranah media, permasalahan ini mengindikasikan kurangnya kerjasama: bagaimana institusi berbeda memandang isu secara parsial, tanpa ada keinginan atau komitmen yang riil untuk mengatur media demi kepentingan publik.
Di dalam sektor media, UU Penyiaran No. 32/2002 dan UU Perseroan Terbatas No. 40/2007 tidak saling mendukung. Kedua kebijakan tersebut tidak selaras dalam mengatur dan mengelola perkembangan industri media di Indonesia. Para pemilik media yang sadar akan celah ini cenderung bersembunyi di balik UU Perseroan Terbatas yang menjustifikasi praktik merger dan akuisisi mereka, yang sebenarnya dilarang dalam UU Penyiaran. Selain itu, hal yang sama terjadi dalam hal penggunaan frekuensi yang merupakan milik publik, oleh media.

Permasalahan Serius karena Minimnya Penegakan dan Supremasi Hukum
Meskipun terdapat kebijakan- kebijakan yang diperlukan, akan selalu ada jalan belakang yang dapat dipakai demi menghindari sebuah kewajiban. Salah satu praktik yang menjadi perhatian selama ini adalah adanya perdagangan frekuensi—sumber daya utama dalam bisnis penyiaran. ‘Perdagangan’ frekuensi biasanya dilakukan dalam bentuk pengambilalihan saham perusahaan, dan bukan melalui permohonan izin siaran baru. Kerjasama yang erat antara KPI dan KPPU diperlukan untuk mengatasi masalah yang muncul dari kepemilikan media, serta mengawasi praktik merger dan akuisisi oleh perusahaan/ pemilik media.
Menuju Oligopoli
Regulator media dan kebijakan-kebijakannya bekerja di dalam kerangka kerja yang jelas dan tegas. Keberagaman konten hanya bisa dicapai jika ada jaminan dan aturan tentang keberagaman kepemilikan. Kedua prinsip tersebut penting dalam demokratisasi media yang ada di Indonesia. Akan tetapi, struktur industri ini bergeser. Kepemilikan media lebih terkonsentrasi pada beberapa pihak saja, seperti yang dikatakan pakar media:
Ini persoalannya yang sebenarnya adalah ada sentralisasi penyiaran oleh beberapa kelompok saja yang tidak memberi ruang bagi keberagaman (Ade Armando, wawancara, 27/10/2011).
Kami memetakan dua belas kelompok terbesar media di Indonesia. Mereka ditabulasikan di bawah ini berdasarkan jaringan dan jumlah media yang mereka miliki.