Integrasi Industri Media – Satu, konten-konten yang disajikan oleh berbagai perusahaan media massa disesuaikan dengan selera pasar atau jumlah terbesar dari audiens potensial. Cara ini memang dilancarkan untuk mendapatkan perhatian dari pembaca, pemirsa, dan pendengar atau audiens) dalam jumlah besar. Harapannya adalah dengan mendapatkan audiens yang besar, maka tiras (untuk media cetak), ataupun rating (untuk media televisi dan radio), maupun traffict (untuk media online) dari perusahaan media massa menjadi tinggi.
Harapan nya adalah dengan semakin tinggi jumlah tiras, rating, dan traffict nya, tarif atau harga iklan di media massa tersebut menjadi tinggi juga. Bagi perusahaan media cetak, seiring dengan tingginya tiras akan mendapatkan keuntungan ganda. Pertama, tingginya tiras menunjukkan peluang atau tingkat keterbacaan atau readership semakin tinggi. Semakin tinggi tingkat keterbacaan, menjadi parameter kepopularitasan dari setiap perusahaan media cetak. Kedua, keuntungan dalam bentuk pendapatan tiras atau sirkulasi atau dari media cetak yang terjual di pasar. Ketiga, perusahaan media mendapatkan pemasukan iklan yang tinggi juga; oleh sebab selama ini para pengiklan hanya “tunduk” pada tinggi atau rendahnya jumlah pembaca dari media cetak. idnpoker

Dua, melakukan integrasi horisontal. Langkah langkah ini merupakan strategi paling fundamental untuk menguatkan jaringan bisnis media cetak, media televisi, media radio, dan media online. Sebuah grup perusahaan media melakukan integrasi horisontal manakala mereka melebarkan sayap bisnis media untuk mendirikan perusahaan media baru di suatu daerah. Contoh sederhana adalah grup Kelompok Kompas Gramedia yang menerbitkan Tribun Jateng dan Tribun Jogja.
Tiga, integrasi vertikal. Di mana perusahaan media massa melakukan ekspansi bisnis mereka ke bidang bisnis non media. Contoh mudah, CT Group mendirikan Carefour, hotel, dan bisnis non media lainnya. Integrasi horisontal sekaligus integrasi vertikal yang dijalankan secara bersamaan oleh sebuah grup korporasi media, akan melipatgandakan keuntungan finansial dari praktik bisnis media dan non media. Dua jalur bisnis yang berbeda itu adalah bisnis media dan bisnis non media akan saling mendukung satu sama lainnya, namun prasyaratnya membutuhkan dukungan modal dan sumber daya manusia yang besar. Implikasi buruk nya, ada nya keseragaman informasi; sebab industri media massa terkonsentrasi pada sejumlah korporasi media massa. Apalagi kepemilikan saham perusahaan media massa hanya dimiliki oleh segelintir orang saja. Bahkan, kepemilikan dari 14 grup perusahaan media di atas ada yang saling “bersilang”. Misalnya, pemilik Kelompok Kompas Gramedia juga memiliki saham “sekian persen” di CT Group. Menurut saya, ke depan dampak dari persaingan antara 14 grup perusahaan media raksasa nasional di atas akan mengakibatkan keoknya sejumlah grup media; yang memaksa mereka untuk melakukan merger (dengan sesama perusahaan media yang sama-sama merasa terancam atau keok) atau menawarkan diri untuk diakuisisi (oleh perusahaan media massa yang lebih besar), sehingga ke depan semakin mengerucutkan peta penghegemoni industri media massa pada tiga grup (tripoli), atau dua grup (duopoli) saja; bahkan bisa saja menjadi satu grup saja (monopoli) (Supadiyanto, 2013).
Apakah di luar 14 grup korporasi media di atas, masih ada lagi media arus utama lainnya di Indonesia? Tentu masih banyak. Dengan merujuk pada data Dewan Pers dan SPS pada tahun 2012, di Indonesia paling tidak ada 1.000 media cetak (sukat kabar, majalah, tabloid), 217 stasiun TV lokal, 11 stasiun TV nasional, 16 stasiun TV berlangganan, 11 TV jaringan, ribuan stasiun radio, dan ratusan media online. Artinya para pemain utama media arus utama di Indonesia sudah “cukup berlimpah”. Dengan jumlah wartawan se-Indonesia yang mencapai 100.000 – 125.000 orang (merujuk data dari Ketua Umum PWI Margiono, 2012), tentu saja mengundang tanda tanya besar apakah mungkin dengan jumlah wartawan yang “sekecil” itu mampu meng cover wilayah Indonesia yang mencapai hampir delapan juta kilometer persegi? Apalagi merujuk data yang pernah dilontarkan oleh Sekjen PWI Hendry Ch. Bangun kepada saya pada akhir tahun 2013, jumlah wartawan Indonesia yang lulus mengikuti Ujian Kompetensi Wartawan atau yang biasa disingkat dengan singkatan UKW baru sekitar 5.000 orang. Artinya, jumlah wartawan profesional yang ada di Indonesia masih sangat kecil. Maka logislah, mengapa kualitas konten atau materi yang disajikan oleh berbagai media massa arus utama masih layak dipertanyakan. Belum lagi menyoal masalah masih rendahnya gaji bulanan yang diperoleh sebagian besar wartawan di Indonesia.
Data penelitian yang pernah dilakukan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) tahun 2011, berikut ini disajikan daftar gaji bulanan yang diperoleh para jurnalis berbagai media massa di kawasan Jakarta:
1. Gaji jurnalis Harian Ekonomi Bisnis Indonesia mencapai Rp 4.979.280
2. Harian Kompas Rp 5.500.000
3. Tabloid Kontan Rp 3.700.000
4. Harian Republika Rp 2.300.000
5. Harian Jurnal Nasional Rp 2.500.000
6. LKBN Antara Rp 2.700.000
7. Harian Seputar Indonesia Rp 2.250.000
8. Koran Tempo Rp 2.700.000
9. Harian Indopos Rp 3.300.000
10. Harian Pos Kota Rp 1.700.000
11. Harian Berita Kota Rp 2.800.000
12. Harian Warta Kota Rp 2.700.000
13. Harian Jakarta Globe Rp 5.500.000
14. Harian Rakyat Merdeka Rp 2.000.000
15. Harian Sinar Harapan Rp 2.000.000
16. Majalah Swa Rp 2.696.990
17. Majalah Gatra Rp 2.500.000
18. TPI/MNCTV Rp 2.400.000
19. Trans TV Rp 2.500.000
20. SCTV Rp 2.500.000
21. DAAI TV Rp 2.480.000
22. Radio KBR 68H Rp 3.300.000
23. I Radio Rp 2.400.000
24. Radio Sonora FM Rp 3.300.000
25. Hukumonline.com Rp 1.600.000
26. Kompas.com Rp 2.700.000
27. Detik.com Rp 2.400.000
28. Vivanews.com Rp 2.600.000
29. Okezone.com Rp 2.300.000
30. TV One Rp 3.500.000.

Jika dibandingkan dengan perolehan gaji jurnalis yang bekerja di daerah, tentu angkanya jauh dari nominal di atas. Bahkan angkanya masih banyak yang berada di bawah Upah Minimum Regional atau yang biasa disingkat dengan singkatan UMR, akan tetapi hingga kini belum ada data rujukan yang resmi bisa dijadikan sandaran (Manan, 2011).
Ada fakta menarik bahwa industri media massa sedunia saat ini masih hanya dikuasai oleh enam perusahaan media massa milik Yahudi. Perusahaan raksasa media massa tersebut adalah media Vivende Universal, AOL Time Warner, The Walt Disney Corporation, Bertelsmann AG, Viacom, dan News Corporation. Enam konglomerasi media massa dunia tersebut menguasai 96 persen pasar media dunia (Ramdan, Anton A. 2009). Para konglomerat yaitu orang orang terkaya yang ada di dunia, media dunia berkepentingan menguasai industri media massa di dunia, di samping untuk mengeruk keuntungan (misi materi-ekonomi); juga sekaligus dalam rangka menyebarkan pengaruhnya (misi politik-ideologi). Jadi ada hubungan yang sangat kuat, mengapa para konglomerat dunia berangkat dari bisnis media massa dan mereka sebagian besar adalah para Yahudi (Supadiyanto, 2014).